Pendekatan
Dan Model Kepemimpinan
A. Pendekatan Kepemimpinan
Yang dimaksud pendekatan kepemimpinan disini adalah sudut pandang terhadap
kepemimpinan, yang mana pendekatan kepemimpinan ini ada 3 yaitu: Pertama,
yaitu pendekatan sifat yang menfokuskan pada karakteristik pribadi pemimpin. Kedua, yaitu
pendekatan perilaku dalam hubungannya dengan bawahannya. Ketiga,
Pendekatan situasional, perilaku seorang pemimpin dengan karakteristik
situasional.
1. Pendekatan Sifat.
Keberhasilan seseorang pemimpin banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh
sifat-sifat yang dimiliki oleh pribadi si pemimpin. Jadi, menurut pendekatan
ini, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya.
Ada empat sifat umum yang mempunyai pengaruh
terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yaitu :
1. Kecerdasan;
pada umumnya pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan lebih tinggi dibandingkan
dengan yang dipimpin,
2. Kedewasaan,
pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil serta
perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial,
3. Motivasi
diri dan dorongan berprestasi; pemimpin cenderung mempunyai motivasi yang
kuat untuk berprestasi,
4. Sikap
hubungan kemanusiaan, pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan
kehormatan bawahan.
2. Pendekatan perilaku
Pendekatan perilaku berlandaskan pemikiran bahwa
keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan
bertindak pemimpin yang bersangkutan. Gaya bersikap dan bertindak akan nampak
dari cara melakukan sesuatu pekerjaan, antara lain akan nampak dari cara
memberikan perintah, cara memberikan tugas, cara berkomunikasi, cara membuat
keputusan, cara mendorong semangat bawahannya, cara memberikan bimbingan, cara
menegakkan disiplin, cara mengawasi pekerjaan bawahannya, cara meminta laporan
dari bawahannya, cara memimpin rapat, cara menegur kesalahan bawahannya, dan
lain sebagainya.
Apabila dalam melakukan kegiatan tersebut pemimpin
menempuh dengan cara tegas, keras, sepihak, yang penting tugas selesai dengan
baik, yang bersalah langsung dihukum, maka gaya kepemimpinan seperti itu
cenderung dinamakan gaya kepemimpinan otoriter. Sebaliknya apabila dalam
melakukan kegiatan tersebut pemimpin melakukannya dengan cara halus, simpatik,
interaksi timbal balik, melakukan ajakan, menghargai pendapat, memperhatikan
perasaan, membina hubungan serasi, maka gaya kepemimpinan ini cenderung
dinamakan gaya kepemimpinan demokratis.
Pandangan klasik menganggap setiap pegawai itu pasif,
malas, enggan bekerja, takut memikul tanggung jawab, tiada keberanian membuat
keputusan, tiada bersemangat untuk menemukan berbagai cara kerja baru, bekerja
berdasarkan perintah atasan semata-mata, melakukan pekerjaan dengan
mengutamakan imbalan materi, sering mangkir dengan berbagai alasan yang tidak
masuk akal, sering memberikan laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, suka
memfitnah, suka menipu diri sendiri.
Sebaliknya pandangan modern menganggap para pegawai
itu sebagai manusia yang memiliki perasaan, emosi jiwa, kehendak yang patut
dihargai, memerlukan hubungan serasi, perlu diperhatikan kebutuhannya, pada
umumnya gemar bekerja, aktif, besar rasa tanggung jawabnya, rajin, disiplin,
tinggi tingkat pengabdiannya, banyak gagasan baru, lebih menitikberatkan pada
hal yang positif dalam hubungan dengan pihak lain.
Dua macam pandangan tersebut menimbulkan adanya
gaya kepemimpinan yang berbeda. Pandangan klasik lebih mengutamakan gaya
otoriter, sedang pandangan modern lebih mengutamakan gaya demokratis.
3. Pendekatan situasional
Pendekatan atau teori kepemimpinan ini dikembangkan oleh Hersey dan
Blanchard berdasarkan teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Pada pendekatan ini
didasarkan atas asumsi bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi tidak
hanya dipengaruhi oleh perilaku dan sifat-sifat pemimpin saja, karena tiap-tiap
organisasi itu memiliki ciri-ciri khusus dan unik. Bahkan organisasi yang
sejenispun akan menghadapi masalah yang berbeda karena adanya lingkungan yang
berbeda, semangat dan watak bawahan yang berbeda.
Situasi yang berbeda-beda ini harus dihadapi dengan perilaku kepemimpinan
yang berbeda pula. Karena banyaknya kemungkinan yang dapat dipakai dalam
menerapkan perilaku kepemimpinan sesuai dengan situasi organisasi, maka
pendekatan situasional ini disebut juga dengan pendekatan kontingensi; yang
dapat berarti kemungkinan.
Pendekatan situasional atau kontingensi didasarkan pada asumsi bahwa
keberhasilan seorang pemimpin selain ditentukan oleh sifat-sifat dan perilaku pemimpin juga
dipengaruhi oleh situasi yang ada dalam organisasi.
B. Model
Kepemimpinan
1. Model
Kepemimpinan Kontingensi Fielder
Teori ini dikembangkan oleh Fiedler dan Chemers. Keberhasilan
pemimpin bergantung pada diri pemimpin maupun kepada keadaan organisasi.
Menurut Fiedler tak ada gaya kepemimpinan yang cocok untuk semua situasi, serta
ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu hubungan antara pimpinan dan
bawahan, struktur tugas serta kekuasaan yang berasal dari organisasi
Berdasarkan tiga dimensi tersebut, Fiedler menentukan dua jenis gaya
kepemimpinan dan dua tingkat yang menyenangkan. Pertama, gaya
kepemimpinan yang mengutamakan tugas, yaitu ketika pemimpin merasa puas jika
tugas bisa dilaksanakan. Kedua, gaya kepemimpinan yang
mengutamakan pada hubungan kemanusiaan, hal tersebut menunjukkan bahwa
efektifitas kepemimpinan bergantung pada tingkat pembauran antara gaya
kepemimpinan dengan tingkat kondisi yang menyenangkan dalam situasi tertentu.
2. Model Kepemimpinan Tiga
Dimensi
Teori ini dikemukakan oleh Reddin, seorang guru besar Universitas New
Brunswick, Canada. Menurutnya ada tiga dimensi yang dapat dipakai untuk
menentukan gaya kepemimpinan, yaitu perhatian pada produksi atau tugas,
perhatian pada orang, dan dimensi efektifitas. Reddin mengatakan bahwa gaya
tersebut dapat menjadi efektif dan tidak efektif, tergantung pada situasi. Gaya
yang efektif yaitu:
1) Eksekutif.
Gaya ini banyak
memberikan perhatian pada tugas-tugas pekerjaan dan hubungan kerja. Seorang
Pimpinan yang menggunakan gaya ini disebut sebagai motivator yang baik, mau
menetapkan standar kerja yang tinggi, berkehendak mengenal perbedaan diantara
individu, dan berkeinginan menggunakan tim kerja dalam manajemen.
2) Pecinta pengembangan
(developer).
Gaya ini memberikan
perhatian yang maksimum terhadap hubungan kerja, dan perhatian yang minimum
terhadap tugas-tugas pekerjaan. Seorang Pimpinan yang menggunakan gaya ini
mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap orang-orang yang bekerja dalam
organisasinya, dan sangat memperhatikan pengembangan mereka sebagai individu.
3) Otokratis yang baik
(Benevolent autocrat),
Gaya ini memberikan
perhatian yang maksimum terhadap tugas, dan perhatian minimum terhadap hubungan
kerja. Pimpinan ini mengetahui secara tepat apa yang ia inginkan dan
bagaimana memperoleh yang diinginkan tersebut tanpa menyebabkan ketidakseganan
di pihak lain.
4) Birokrat.
Gaya ini memberikan
perhatian yang minimum baik terhadap tugas maupun hubungan kerja. Pimpinan ini
sangat tertarik pada peraturan-peraturan dan menginginkan peraturan tersebut
dipelihara serta melakukan control situasi secara teliti.
Sedangkan gaya yang tidak efektif yaitu:
1. Pencinta kompromi (compromiser).
Gaya ini memberikan
perhatian yang besar pada tugas dan hubungan kerja dalam suatu situasi yang
menekankan pada kompromi. Pimpinan seperti ini merupakan pembuat keputusan yang
tidak bagus karena banyak tekanan yang mempengaruhinya.
2. Missionari.
Gaya ini memberikan
penekanan yang maksimum pada orang-orang dan hubungan kerja, tetapi memberikan
perhatian minimum terhadap tugas dan perilaku yang tidak sesuai. Pimpinan
semacam ini hanya menilai keharmonisan sebagai suatu tujuan dalam dirinya
sendiri.
3. Otokrat.
Gaya ini memberikan
perhatian maksimum terhadap tugas dan minimum terhadap hubungan kerja dengan
suatu prilaku yang tidak sesuai. Pimpinan seperti ini tidak mempunyai
kepercayaan pada orang lain, tidak menyenangkan, dan hanya tertarik pada
pekerjaan yang segera selesai.
4. Deserter (Lain dari tugas).
Gaya ini sama sekali
tidak memberikan perhatian baik pada tugas maupun pada hubungan kerja. Dalam
situasi tertentu gaya ini tidak begitu terpuji, karena Pimpinan seperti ini
menunjukkan sikap positif dan tidak mau ikut campur secara aktif dan positif.
3. Model kepemimpinan Situasional
Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan tiga dimensi, yang
didasarkan pada hubungan antara tiga faktor, yaitu perilaku tugas (task
behavior), perilaku hubungan (relationship behavior) dan
kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan pemberian petunjuk
oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penjelasan tertentu, apa yang harus
dikerjakan, bilamana, dan bagaimana mengerjakannya, serta mengawasi mereka
secara tepat.
Perilaku hubungan merupakan ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui
komunikasi dua arah yang meliputi mendengar dan melibatkan anak buah dalam
pemecahan masalah. Adapun kematangan adalah kemampuan dan kemauan
anak buah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanan tugas yang dibebankan kepadanya.
Dari 3 faktor tersebut, tingkat kematangan anak buah merupakan faktor yang
paling dominan.
Menurut teori ini gaya kepemimpinan akan efektif jika disesuaikan dengan
tingkat kematangan anak buah. Makin matang anak buah, pemimpin harus mengurangi
perilaku tugas dan menambah perilaku hubungan. Apabila anak buah
bergerak mencapai tingkat rata-rata kematangan, pemimpin harus mengurangi
perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada saat anak buah mencapai
tingkat kematangan penuh dan sudah dapat mandiri, pemimpin sudah dapat
mendelegasikan wewenang kepada anak buah.
Gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan dalam keempat tingkat
kematangan anak buah dan kombinasi yang tepat antara perilaku tugas dan
perilaku hubungan adalah sebagai berikut:
1) Gaya Mendikte (Telling). Gaya ini
diterapkan jika anak buah dalam tingkat kematangan rendah, dan memerlukan
petunjuk serta pengawasan yang jelas. Gaya ini disebut mendikte karena pemimpin
dituntut untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan, dan dimana tugas dilakukan.
Gaya ini menekankan pada tugas, sedangkan hubungan hanya dilakukan sekedarnya
saja.
2) Gaya Menjual (Selling). Gaya ini
diterapkan apabila kondisi anak buah dalam taraf rendah sampai moderat. Mereka
telah memiliki kemauan untuk melakukan tugas, tetapi belum didukung oleh
kemampuan yang memadai. Disebut menjual karena pemimpin selalu memberikan
petunjuk yang banyak. Dalam tingkat kematangan anak buah seperti ini,
diperlukan tugas serta hubungan yang tinggi agar dapat memelihara dan
meningkatkan kemauan yang telah dimiliki.
3) Gaya Melibatkan Diri (Participating). Gaya
ini diterapkan apabila tingkat kematangan anak buah berada pada taraf
kematangan moderat sampai tinggi. Mereka mempunyai kemampuan, tetapi kurang
memiliki kemauan kerja dan kepercayaan diri. pemimpin dengan anak buah
bersama-sama berperan di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kematangan
seperti ini, upaya tugas tidak diperlukan, namun upaya hubungan perlu
ditingkatkan dengan membuka komunikasi dua arah.
4) Gaya Mendelegasikan (Delegating). Gaya
ini diterapkan jika kemampuan dan kemauan anak buah telah tinggi. Gaya ini
disebut mendelegasikan karena anak buah dibiarkan melaksanakan kegiatan
sendiri, melalui pengawasan umum.
Hal ini biasa
dilakukan jika anak buah berada pada tingkat kedewasaan yang tinggi. Dalam
tingkat kematangan seperti ini upaya tugas hanya diperlukan sekedarnya saja,
demikian pula upaya hubungan.